Minggu, 05 April 2015

KISAH 'ASHIM BIN TSABIT

'ASHIM BIN TSABIT


"Siapa yang hendak berperang, berperanglah seperti 'Ashim bin Tsabit!" (Sabda Rasul SAW)
Kaum Quraisy keluar semuanya, bath sayyid (bangsa­wan) maupun 'abid (hamba sahaya) untuk memerangi Muhammad bin 'Abdullah di Uhud. Kedenglcian dan nafsu hendak membunuhnya di Badar masih membakar darah mereka. Tidak saja kaum pria, bahkan wanita-wanita bang­sawan Quraisy pun turut pula ke Uhud untuk menggelora­kan semangat perang pahlawan mereka dan memperkuat tekad mereka bila ternyata kendor atau melempem.
Di antara para wanita itu terdapat: Hindun bind 'Utbah isteri Abu Sufyan bin Harb, Raithah binti Munab­bih isteri 'Amr bin 'Ash, Sulafah binti Saad beserta suami­nya T'halhah dan tiga orang anak laki-lakinya: Musafi', Julas, dan Kilab, serta banyak lagi wanita-wanita
Ketika pasulcan-pasukan Islam dan musyrikin telah berhadap-hadapan di Uhud, dan api peperangan telah me­nyala, Hindun bin 'Utbah dan beberapa wanita lain berdiri di belakang pasukan pria. Para wanita ini memegang rebana, dan memukulnya sambil menyanyikan lagu perang. Antara lain berbunyi :
Tempurlah musuh-musuhmu...
Kami akan bentangkan hamparan untukmu...
Jangan mundur berserakan...
Mundur, sungguh tidak terpuji.
Lagu-lagu mereka membakar semangat prajurit ber­kuda. Dan membuat para suami seperti kena sihir.
Kemudian pertempuran usai. Kaum Quraisy mencatat kemenangan untuk mereka dalam peperangan tersebut. Para wanita Quraisy berlompatan, berlari-lari ke tengah-­tengah lapangan pertempuran mabok kemenangan. Me­reka menyiksa dan merusak mayat-mayat kaum muslimin yang tewas dalam pertempuran dengan cara yang sangat keji. Perut mayat-mayat itu mereka belah, matanya mereka congkel, telinga dan hidungnya mereka potong.
Bahkan seorang di antara mereka tidak puas dengan cara begitu saja. Hidung dan telinga mayat-mayat itu di­buatnya menjadi kalung, lalu dipakainya untuk mem­balaskan dendam bapak, saudara dan pamannya yang ter­bunuh di Badar.
Sulafah binti Sa'ad lain pula gayanya. Dia tidak seperti wanita lain. Hatinya goncang dan gelisah menunggu ke­munculan suami dan tiga orang anaknya. Dia berdiri ber­sama-sama kawan-kawannya yang sedang dimabuk keme­nangan. Setelah lama menunggu dengan sia-sia, akhirnya dia masuk ke arena pertempuran, sampai jauh ke dalam. Diperiksanya satu persatu wajah mayat-mayat yang berge­limpangan. Tiba-tiba didapatkannya mayat suaminya ter-baring hampa berlumuran darah. Dia melompati bagaikan
singa betina ketakutan. Kemudian ditujukannya pandang­an ke segala arah mencari anak-anaknya: Musafi', Kilab dan Julas. Tidak berapa lama dia mencari ke segenap lapangan, didapatinya Musafi' dan Kilab telah tewas kedua­duanya. Tetapi Julas masih hidup dengan sisa nafasnya.
Sulafah memeluk tubuh anaknya yang setengah se-karat. Kemudian diletakkannya kepala anak itu ke paha­nya. Dibersihkannya darah dari kening dan mulut anak itu. Air matanya kering karena pukulan berat yang sangat menggoncangkan hatinya.
Kemudian ditatapnya wajah anaknya seraya bertanya, "Siapa lawan yang menjatuhkan kamu, nak? Siapa,..?"
Anaknya hendak menjawab, tetapi nafas sakaratnya tidak mengizinkan. Sulafah bertanya terus menerus, "Siapa, nak...? Siapa lawan yang menjatuhkan kamu, nak...? Siapa...?"
Akhirnya Julas menjawab juga dengan suara terputus­putus, '"A... shim... bin... Tsa... bit! Dia... pula yang me... mukul rubuh abang Musaf dan...."
Belum habis dia berbicara, nafasnya sudah tiada.
Sulafah binti Sa'ad bagaikan gila. Dia menangis dan meraung sekeras-kerasnya. Dia bersumpah dengan Lata dan 'Uzza, tidak akan makan-makan dan menghapus air mata, kecuali bila orang Quraisy membalaskan dendam­nya terhadap 'Ashim bin Tsabit, dan memberikan batok kepala 'Ashim kepadanya untuk dijadikannya mangkok tempat minum khamar. Kemudian dia berjanji bagi orang­orang dapat menyerahkan 'Ashim kepadanya hidup atau mati, hadiah uang (harta) sebanyak dimintanya.
Janji Sulafah itu tersiar cepat di seluruh Quraisy. Se­tiap pemuda Makkah berharap agar mereka dapat meme­nangkan lomba itu dan membawa 'Ashim ke hadapan Sulafah, untuk memperoleh hadiah besar yang dijanjikan­nya.
Seusai perang Uhud, kaum muslimin kembali ke Madi­nah. Mereka memperkatakan pertempuran yang baru me­reka alami. Sama-sama memperlihatkan rasa sedih atas pahlawan-pahlawan yang syahid, memuji keberanian orang­orang yang luka dan sebagainya. Mereka pun tidak keting­galan menyebut-nyebut nama 'Ashim bin Tsabit yang di­katakan sebagai pahlawan gagah tak terkalahkan. Mereka kagum, bagaimana 'Ashim mampu merubuhkan tiga ber­saudara sekaligus.
Seorang di antaranya berkata, "Itu soal yang tak perlu diherankan. Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan ketika beliau bertanya beberapa sa'at sebelum berkobar perang Badar, "Bagaimana caranya kamu berperang?" Lalu 'Ashim bin Tsabit tampil dengan busur panah di tangan. Katanya, "Jika musuh berada di hadapanku seratus hasta, aku panah dia. Apabila musuh mendekat dalam jarak tikaman lambing, aku bertanding dengan lambing sampai patah. Jika lembingku patah, kuhunus pedang, lalu aku main pedang." Maka bersabda Rasulullah, "Nah! Begitulah berperang. Siapa yang hendak berperang, berperanglah seperti 'Ashim!"
Tidak berapa lama sesudah perang Uhud, Rasulullah memilih enam orang sahabat yang mulia untuk melaksana­kan suatu tugas panting, dan beliau mengangkat 'Ashim bin Tsabit sebagai kepala. Orang-orang terpilih ini ber­angkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepada mereka. Di tengah jalan, tidak jauh dari Makkah, sekelompok kaum Hudzail melihat kedatangan mereka. Kelompok itu segera mengepung mereka dengan ketat. 'Ashim dan kawan-kawan dengan sigap menyambar pedang masing-masing, dan siap siaga menghadapi segala kemung­kinan.

Kata orang-orang Hudzail, "Kahan tidak akan berdaya melawan kami. Demi Allah! Kami tidak akan berlaku jahat terhadap kalian jika kalian menyerah. Kahan boleh mempercayai sumpah kami dengan nama Allah."
Para sahabat Rasulullah berpandangan satu sama lain seolah-olah bermusyawarah, sikap apa yang harus diambil. 'Ashim menoleh kepada kawan-kawannya seraya berkata, "Aku tidak dapat memegang janji orang-orang musyrik itu!" Kemudian diingatkannya sumpah Sulafah untuk menangkapnya. Lalu dihunusnya pedangnya sambil men­do'a, "Wahai Allah! Aku memelihara agama Engkau dan bertempur karenanya. Maka lindungilah daging dan tulang­ku, jangan dibiarkan seorang juapun musuh-musuh Allah menjamah.
Kemudian diserangnya orang-orang Hudzail, diikuti oleh dua orang kawannya. Mereka bertiga bertempur mati­matian, sehingga akhirnya rubuh dan tewas satu persatu. Sedangkan kawan-kawan 'Ashim yang bertiga lagi menye­rah sebagai tawanan. Sebentar kemudian, mereka pun dikhianati oleh kaum Hudzail yang tidak memenuhi janji mereka.
Pada mulanya kaum Hudzail tidak mengetahui bahwa salah seorang di antara korban mereka adalah 'Ashim bin Tsabit. Tetapi setelah diketahuinya, mereka pun girang bukan kepalang, karena membayangkan hadiah besar yang akan diperolehnya. Memang tidak salah angan-angan mereka. Bukankah Sulafah telah bersumpah, jika dia ber­hasil membunuh 'Ashim bin Tsabit, dia akan minum kha­mar di batok kepala 'Ashim? Bukankah dia telah men­janjikan bagi siapa yang berhasil menyerahkan 'Ashim kepadanya hidup atau mati akan diberinya hadiah berapa saja diminta?!
Hanya beberapa saat setelah kematian 'Ashim bin Tsabit dan kawan-kawan, kaum Quraisy telah mencium beritanya. Karena kaum Hudzail tinggal tidak jauh dari kota Makkah. Maka para pemimpin Quraisy segera me­ngirim utusan kepada pembunuh 'Ashim, meminta kepala 'Ashim untuk menghilangkan dahaga Sulafah binti Sa'ad, menyempurnakan sumpahnya, serta meringankan kesedih­an terhadap tiga orang anaknya yang tewas di tangan 'Ashim. Para pemimpin Quraisy membekali utusan itu dengan jurnlah uang yang memadai, dan menyuruh agar menyerahkan uang itu seluruhnya kepada kaum Hudzail dengan murah hati, demi untuk mendapatkan kepala 'Ashim.
Kaum Hudzail pergi mencari mayat 'Ashim untuk me­misahkan kepalanya dari jasad. Tetapi alangkah 'ajaib, karena tiba-tiba mereka dikejutkan sarang lebah dan ge­rombolan serangga menyerang mereka dari segala arah. Ketika mereka hendak menghampiri tubuh 'Ashim yang telah menjadi mayat, serangga-serangga itu terbang menye­rang mereka, menggigiti muka, mata dan kening. Bahkan seluruh tubuh mereka tidak ada yang ketinggalan digigit serangga-serangga itu untuk mengusir mereka supaya tidak mendekati jenazah 'Ashim.
Setelah mereka coba berulang-ulang menghampiri mayat 'Ashim, mereka selalu gagal, akhirnya menyerah. Mereka berkata sesamanya, "Biarkanlah dahuiu sampai malam. Biasanya bila hari telah malam mereka terbang. Maka tinggallah mayat itu untuk kita."
Lalu mereka duduk menunggu sampai malam.
Tetapi setelah hari senja dan malam hampir tiba, langit tertutup oleh awan tebal menghitam. Kilat dan petir sabung-menyabung. Hujan lebat turun bagai dicurahkan dari langit. Belum pernah terjadi di sana hujan selebat itu semenjak mereka tahu. Dengan cepat air mengalir dari tempat-tempat ketinggian mernenuhi sungai-sungai dan menutup permukaan lembah. Banjir besar segera datang melanda segala yang ada.
Setelah Subuh tiba, mereka bangkit kembali mencari tubuh 'Ashim di semua tempat. Tetapi usaha mereka sia­sia, bahkan mereka tidak menemukan bekas-bekasnya. Rupanya banjir telah menghanyutkan jauh-jauh, dan hilang tanpa diketahui ke mana perginya.

Allah Ta'ala memperkenankan do'a 'Ashim bin Tsabit. Dia melindungi mayat 'Ashim yang suci, jangan sampai dijamah cleh tangan-tangan kotor orang-orang musyrik. Dan dia memelihara batok kepala 'Ashim yang mulia, agar tidak dijadikan tempat minum khamar oleh mereka. Allah tidak memberi kesempatan bagi mereka.

0 comments:

Posting Komentar